Sejarah Jemaat
Sejarah gereja adalah cerita tentang kisah perjalanan injil, pertumbuhan dan perkembangannya serta perubahan-perubahan yang dialami gereja selama proses pelayanan berlangsung. Jemaat GPM Amahusu yang hampir setua dengan gereja sejak mandiri pada tahun 1935, terletak di jasirah Nusaniwe, Negeri Amahusu berbatasan dengan Jemaat GPM Bethesda, dan Jemaat GPM Nusaniwe Eri. Dalam proses pelayanan jemaat GPM Amahusu dilayani oleh tiga Pdt Organik yang di tempat oleh Sinode GPM, dengan pelayan khusus Penatua dan Diaken sebanyak 66 orang, dengan Sembilan sektor dan tiga puluh tiga unit pelayanan. Diakui bahwa penullisan sejarah Jemaat GPM Amahusu ini tidaklah mudah, karena berbagai faktor yang melatarbelakangi proses penulisan sejarah tersebut.
Sejarah Gereja
Sama seperti halnya dengan bangsa-bangsa di Eropa Barat dan Selatan pada abad ke -15, tujuan kehadiran bangsa Portogis di Indonesia didasarkan pada tiga alasan yakni ekonomi (kekayaan), politik (kekuasaan) dan pekabaran injil. Ketiga alasan ini dikenal dengan nama “ 3G” yakni Gold, Glory and Gospel. Berdasarkan tiga alasan ini, armada Portogis di bawah pimpinan Vasco da Gama berhasil mencapai Goa di India pada tahun 1498. Kemudian pada tahun 1511, Malaka sebagai pusat perdagangan yang sangat strategis dan sekaligus pusat agama Islam di Asia Tenggara diserang dan ditaklukkan di bawah pimpinan Albuquerque, panglima armada Portugis. Dengan ditaklukkannya Malaka, kini orang-orang Portugis memiliki akses yang terbuka luas ke pusat rempah-rempah, Maluku. Sebagaimana halnya di Malaka dan Pulau Jawa, di Maluku telah masuk agama Islam di Ternate (Maluku Utara) dan Hitu (di Pulau Ambon) yang di bawa oleh para mubaliq dan saudagar Islam dari Tuban dan Gresik (di Jawa Timur) sekitar tahun 1480. Di kota Ternate, Portogis berhasil membangun sebuah benteng (selesai tahun 1522) dan menjadikannya pusat kekuasaan, politik dan missi. Di kota ini, bukan saja kekuasaan dan perdagangan tetapi juga agama Kristen berhasil dikembangkan terutama di Pulau Halmahera. Pada tanggal 8 Juli 1534 dibaptis Kolano (kepala kampung) Mamuya dan rakyatnya. Tanggal ini kemudian ditetapkan sebagai tanggal masuknya Gereja Katolik di Indonesia. Jemaat di Masa Portogis Dari Ternate kegitan misi kemudian dikembangkan di Maluku Tengah terutama di Pulau Ambon, Lease dan sekitarnya. Perkembangan dimulai setelah armada kerajaan Islam dari Jawa dikalahkan oleh armada Portugis yang dikirim oleh Antonio Galvao, seorang panglima Portugis di Ternate pada tahun 1538. Setelah kemenangan ini beberapa kampung di Pulau Ambon mencari perlindungan kepada orang-orang Portugis dan bersedia menerima agama Kristen yang ditawarkan oleh para misionaris. Mula-mula tiga negeri Hatiwe, Amantelu dan Nusaniwe, kemudian diikuti oleh empat negeri di pantai Jazirah Leitimur Selatan yakni Amahusu, Erie, Seilale dan Namalatu. Keempat negeri terakhir bersama Nusaniwe berlatar belakang Ulilima. Raja Negeri Nusaniwe masih mempunyai hubungan keluarga dengan orang-orang Islam Hitu yang berasal dari Tuban (Jawa Timur). Tetapi ketika Hitu menerima agama Islam, Nusaniwe menolak. Raja Negeri ini yang bergelar “Latu Sapulalang” (Raja Sepuluh Ribu Kapal) membawahi keempat negeri tetangganya itu. Sedangkan Hatiwe dan Amantelu berlatar belakang Ulisiwa. (Panitia Reuni Akbar dan Natal Kristus : 2012). Ketujuh negeri ini tercatat sebagai penerima Injil pertama dan penduduknya dibaptis pada tahun 1538. (SKKI 1974: 88). Jadi negeri Amahusu menerima Injil pada tahun itu, tetapi bulan dan tanggal belum diketahui secara pasti. Tentang perkembangan kekristenan di Amahusu terutama bagaimana pelaksanaan dan kegiatan pelayanan, di dalam jemaat, siapa yang memimpin dan mengendalikan pelayanan sehari-hari dan bagaimana situasi moral dan spiritual umat, belum ditemukan informasi secara langsung. Yang jelas, situasi perkembangan di dalam jemaat pada umumnya tidak jauh berbeda dengan yang terdapat pada jemaat-jemaat lain terutama di Pulau Ambon pada masa itu. Di jemaat ini tampaknya tidak seorang misionarispun (pater, bruder, frater, imam) yang menetap sama seperti di Hative dan Liliboy. (SGKI 1974 : 222). Faktor penyebabnya ialah karena di satu pihak jumlah tenaga misionaris yang terbatas dan pada pihak lain jumlah negeri dan penganut kekristenan yang terus bertambah. Hal yang cukup membantu ialah jemaat ini sering dikunjungi oleh para misionaris termasuk Fransiskus Xaverius, tahun 1546-1547. Dalam perjalanan perkunjungan mereka ke Jemaat- jemaat di Leitimur baik yang terdapat di pesisir maupun di daerah pegunungan, pasti akan melewati jemaat Amahusu. Pada waktu singgah itulah mereka telah mempergunakannya untuk melayani jemaat. Pada masa Fransiskus Xaverius, beberapa mata rumah dari Soa Wakang dibaptis dan diganti nama-nama mereka sesuai nama Portugis. Sebagai contoh mata rumah Silooy dan da Costa. Dalam perkembangan pelayanan sehari-hari terhadap jemaat terutama sesudah Fransiskus Xaverius dilakukan oleh tenaga-tenaga setempat (pribumi) yang disebut “katekit”. Jabatan ini diciptakan oleh Fransiskus Xaverius dalam rangka pemenuhan tenaga pelayan yang sangat mendesak ketika itu. Para katekit direkrut dari tamatan katekisasi yang dinilai memiliki kemampuan dan ketrampilan “plus” (lebih) menyangkut bidang pelayanan (pengetahuan Alkitab, penggembalaan, pemilikan moral dan spiritual yang tinggi dan sifat-sifat positif lainnya). Tugas seorang katekit antara lain: Mengawasi kesusilaan orang- orang percaya, memberi pelajaran ketekisasi, mengusahakan perdamaian di antara anggota-anggota jemaat yang bertikai, memberikan pelajaran umum (membaca, menulis, menyanyi, berhitung), memberi pengajaran agama kepada anak-anak, dan mengunjungi angota-anggota jemaat. Katekit juga ditugaskan untuk mengumpulkan angota-anggota jemaat dalam ibadah-ibadah, berdoa, mencatat nama orang yang tidak hadir dalam ibadah dan membaptis anak-anak yang baru dilahirkan. (Abeneno, SADI, I: 1978). Selain katekit terdapat pula guru sekolah. Pada saat Fransiskus Xaverius tiba di Ambon tahun 1546, sudah terdapat tujuh buah sekolah yang di buka di Pulau Ambon, masing-masing di negeri Ema, Kilang, Naku, Hatalai, Hutumuri, Hatiwe dan Soya. (C. Wessels, De Geschidenis der RK, dalam C.A. Alyona: 2009). Pada masa Xaverius dan sesudahnya sekolah-sekolah ini di buka juga di beberapa negeri lain. Guru-guru sekolah, selain mengajar juga memimpin ibadah Minggu, terutama setelah jumlah para katekit semakin berkurang. Di bawah pimpinan katekit dan guru-guru inilah pelayanan di dalam jemaat Amahusu dapat berlangsung dan terus berkembang. Ibadah, katekisasi, pengajaran kepada anak-anak, perayaan hari-hari gerejawi dan kegiatan lainnya dapat berlangsung dengan lancar. Kemajuan yang dicapai di bidang pelayanan, kemudian merosot karena penghambatan yang dilakukan oleh Sultan Hairun pada tahun 1558. Faktor penyebabnya ialah cengkih milik Sultan dirampas oleh panglima Portugis di Ternate. (Th van den End, RC 1: 1999). Di Maluku Tengah, terutama di Pulau Ambon (termasuk Jemaat Amahusu) dan Kepulauan Lease orang-orang Kristen dihambat karena dianggap sebagai sekutu orang Portugis. Dalam situasi demikian mereka tetap bertahan dengan mengungsi ke pegunungan. Penghambatan berikutnya dilakukan setelah terjadi pembunuhan atas diri Sultan Hairun oleh orang-orang Portugis pada tahun 1570. Sehubungan dengan itu timbul perlawanan intens yang dilakukan oleh Sultan Babullah (anak sultan) terhadap orang-orang Portugis yang menyebabkan mereka mengungsi ke Pulau Ambon. Di Kota Ambon, mereka mendirikan sebuah benteng dan diberi nama “Kota Laha” sebagai pusat kekuasaan, perdagangan dan misi pada tahun 1576. (Paramita R. Rachman: 2008). Di saat yang sama terjadi juga penghambatan terhadap orang-orang Kristen di kedua wilayah (termasuk Pulau Ambon, Lease dan sekitarnya). Timbul kesan yang kuat, selama penghambatan, jemaat Amahusu tidak terlalu mengalami dampaknya, dibandingkan dengan jemaat-jemaat di Jazirah Hitu (Hatiwe, Tawiri, dll). Faktor penyebabnya ialah selain karena sama-sama berlatar belakang Ulilima, juga adanya hubungan kekeluargaan dengan orang-orang Muslim di Hitu (dari Tuban). Karena penghambatan intens yang dialami, walaupun orang Kristen dapat bertahan, namun kemerosotan terus berlangsung, baik dari segi jumlah maupun kualitas hidup kerohanian umat. Dari segi jumlah terjadi penurunan yang cukup signifikan, yakni dari 47.000 (Th. 1569) turun menjadi 25.000 sesudah terjadi pembunuhan Sultan Hairun. Akhirnya tinggal sekitar 16.000 orang ketika terjadi penyerahan kekuasaan dari Portugis kepada penguasa VOC pada tahun 1605. Dari segi kerohanian, terjadi kemerosotan di bidang misi, karena kekurangan misionaris. Kegiatan penggembalaan kepada umat semakin merosot. Benar orang- orang Kristen masih bertahan tetapi kualitas kekristenan mereka menjadi lemah. Para misionaris yang berkunjung ke Ambon pada dekade terakhir abad ke 16, mengatakan antara lain: “orang-orang Kristen, kecuali di pusat, tidak tahu apa-apa tentang agamanya.” Juga, “yang tinggal dari kekeristenan ialah hanya keinginan untuk kembali kepadanya”. (Th.Van den End, RC 1: 63). Sejarah mencatat bahwa pada saat pengambil-alihan kekuasaan dari tangan Portugis, di Kota Ambon masih tinggal beberapa anggota misionaris yang tetap memelihara anggota jemaat Katolik, termasuk jemaat Amahusu. Jemaat di Masa VOC (1605-1799) Kehadiran orang-orang Belanda di Maluku tidak dapat dipisahkan dari kepentingan dagang atau ekonomi. Demi kepentingan perdagangan oleh penguasa Belanda dibentuk sebuah badan dagang yang bernama Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) : Perserikatan Dagang India Timur tahun 1602. Pada tahun 1596 armada dagang mereka tiba di Indonesia (Banten), dan dari Banten armada itu berlayar menuju Banda dan Ambon. Di Kota yang disebut terakhir mereka disambut dengan gembira oleh penduduk Islam yang pada saat itu sedang melawan penguasa Portugis. Di Pulau Ambon mereka berhasil mendirikan sebuah benteng kecil sekitar Kaitetu yang oleh penduduk setempat dinamakan “Kota Warwijk” (R.Z. Leirissa, 2004: 32). Dengan bantuan orang-orang Islam dari Hitu, Hoamual dan Banda serta Raja Nusaniwe (Kristen), Benteng “Kota Laha” diserang dan menyerah kepada van der Haghen, pemimpin armada Belanda pada 23 Perbuari 1605. Empat hari kemudian, tepatnnya tanggal 27 Perbuari, diadakan ibadah pengucapan syukur bertempat di dalam benteng yang sejak itu namanya diganti “Victoria” (kemenangan) oleh Steven van der Haghen. Tanggal ini diperingati sebagai Hari Ulang Tahun (HUT) dari Indische Kerk (Gereja Protestan di Indonesia: GPI). Sehari setelah pengambil-alihan kekuasaan oleh penguasa VOC, salah seorang misionaris yang berada di Ambon menghadap van der Haghen di kapalnya dan memohon perlindungan atas penduduk beragama Katolik. Ia juga membawa serta beberapa pemuka dari negeri-negeri Katolik yang berada di Pulau Ambon dan Lease untuk menyatakan ketaatan mereka kepada penguasa VOC. Negeri Amahusu di wakili Orang Kaya Simon Silooy. (R. Z. Leirissa : 34). Benar, tujuan utama kehadiran orang-orang Belanda di Maluku ialah untuk kepentingan monopoli perdagangan. Walaupun demikian sebagai penganut Kekristenan Protestan Calvinis, mereka diwajibkan untuk melaksanakan isi artikel Pengakuan Iman Belanda yakni : “Memelihara Gereja Yang Kudus, Menolak dan membasmi segala rupa penyembahan berhala dan agama palsu, memusnahkan Gereja Anti Kristus dan memajukan Kerajaan Yesus Kristus”. (J. L. Ch. Abineno : 1976). Sehubungan dengan kewajiban ini dan prinsip umum yang berlaku pada saat itu yakni “Cuius regio, cuius religio” (siapa punya daerah dia punya agama atau agama raja adalah agama rakyat), maka kepentingan agama Kristen juga ikut diperhatikan. Jadi selain tugas monopoli perdagangan, VOC juga melaksanakan tugas memelihara Kekristenan Protestan di wilayah kekuasaan yakni Ambon, Lease, Banda dan sekitarnya. Suatu hal yang perlu dikedepankan ialah bahwa kehadiran VOC mempunyai manfaat tersendiri bagi negeri-negeri yang terdapat di Maluku Tengah sebab mereka berhasil mengikat perjanjian perdamaian antara semua negeri baik yang Kristen maupun Islam. Dengan demikian berhentilah peperangan antara kampung yang semasa Potugis menjadi salah satu hambatan besar bagi perkembangan agama Kristen. (Th. vanden End, Harta Dalam Bejana 2016). Dalam kondisi demikian, sama halnya denga kota Ambon yang ditata sebagai kota dagang modern, juga kampong-kampung dibenahi dari segi bangunan rumah dan jalan-jalan yang lebih diperhartikan termasuk Amahusu. Hal ini dianjurkan penguasa demi terciptanya suatu kondisi kampong (kemudian disebut Negeri) Kristen yang terkesan lebih teratur dibandingkan dengan masa sebelumnya. Setelah berhasil memantapkan kekuasaannya, VOC bukan saja mengadakan penataan di bidang monopoli perdagangan dengan menjadikan Ambon sebagai pusat kegiatan, tetapi juga di bidang pelayanan gereja. Khusus dibidang yang di sebut terakhir, segera diadakan pengadaan tenaga-tenaga pelayan untuk pembinaan anggota gereja di dalam jemaat. Langkah pertama yang ditempuh ialah memfungsikan tenaga-tenaga Ziekentrooster (penghibur orang sakit) yang melayani di kapal-kapal dagang VOC. Kemudian mendatangkan tenaga-tenaga pendeta Belanda. Selain itu, di bidang kegerejaan, terjadi pembenahan terutama di bidang peribadahan yakni peralihan dari tradisi peribadahaan Gereja Katolik ke Tradisi Protestan Calvinis. Di jemaat Amahusu sama seperti halnya di jemaat- jemaat sekitar, ibadah Minggu, bukan lagi diisi dengan kegiatan Eukharisti (Perjamuan Kudus Katolik) melainkan pemberitaan Firman Allah (khotbah) menjadi inti ibadah. Perjamuan Kudus diadakan empat kali dalam setahun, bukan setiap minggu. (Th. van den End: 2016). Di Amahusu ibadah Minggu dipimpin oleh guru sekolah dengan membaca khotbah tertulis yang telah dipersiapkan oleh pendeta Belanda misalnya Pdt. Caspar Wiltenz (di Maluku:1612-1619). Selain itu, “Etika Calvinis” dengan penekanan antara lain pada sikap individu yang rajin, tekun dan sederhana ikut diperkenalkan kepada anggota jemaat. Kehadiran tenaga-tenaga pendeta ini lambat laun terasa tidak mencukupi karena jumlah anggota jemaat yang semakin bertambah. Benar, telah terdapat sekolah yang dibuka sesudah pengambil-alihan kekuasaan oleh petinggi VOC. Pembukaan sekolah itu tidak dapat dipisahkan dari desakan masyarakat Kota Ambon agar sekolah yang ditutup dimasa Portugis segera dibuka kembali. Alasannya, karena permintaan itu didorong oleh hasrat yang kuat untuk mendalami kepercayaan Kristen yang terganggu karena kekurangan tenaga-tenaga misionaris. Selain itu sekolah telah merupakan aktivitas yang tak dapat dipisahkan dari kehidupan sejak masa Fransiscus Xaverius dengan pembukaan sekolah di beberapa negeri seperti yang dikemukakan di atas. Bidang pendidikan ini kemudian lebih digalakkan oleh Pdt. Sebastian Danckaertz (di Ambon, 1618-1622). Baginya sekolah merupakan “tempat persemaian gereja”, yang berfungsi mendidik dan sekaligus menginjili generasi muda baik yang sudah maupun yang belum Kristen. Danckaertz bercita-cita agar sekolah tidak hanya didirikan di Kota tetapi juga di jemaat-jemaat. Sehubugan dengan hal itu perlu dibuka Seminar pribumi (inlandsch seminary) untuk guru-guru agar kelak difungsikan di sekolah-sekolah karena sebelumnya guru-guru didatangkan dari Belanda. Pada tahun 1620 seminari dibuka dan mendapat bantuan dari Gubernur kemudian diangkat sebagai guru di jemaat-jemaat terutama di Jazirah Leitimur, termasuk jemaat Amahusu. Dari hari senin sampai dengan sabtu mereka mengajar di sekolah dan pada hari Minggu memimpin ibadah jemaat dan membaca khotbah yang disusun oleh pendeta Belanda (a.l. Caspar Wiltenz, berada di Ambon 1612-1615). Perkembangan gereja di Maluku Tengah di masa VOC dialami pula oleh jemaat Amahusu, ternyata tidak berlangsung seterusnya. Pada dua dekade terakhir abad XVIII mulai terjadi tanda-tanda kemunduran yang disebabkan antara lain oleh dua faktor penting. Pertama-tama adalah praktek korupsi yang dilakukan oleh pegawai VOC sendiri. Kedua, munculnya bangsa-bangsa Eropa lain di perairan Indonesia, yakni Inggris dan Perancis yang melemahkan kegiatan monopoli VOC. Kemunduran yang dialami oleh VOC memuncak pada pembubarannya tanggal 31 Desember 1799, mempunyai pengaruh langsung terhadap perkembangan gereja yang mengandalkan kontribusi tenaga pekerja gereja dan dana dari badan dagang itu. Walaupun demikian jemaat-jemaat di Maluku Tengah termasuk jemaat Amahusu tetap eksis karena di topang oleh tenaga-tenaga gereja setempat, yakni guru sekolah yang merangkap sebagai guru jemaat, tokoh-tokoh masyarakat dan tokoh-tokoh adat. (I. H. Enklaar : 37). Tidak kalah pentingnya ialah komitmen kuat yang diperlihatkan oleh anggota jemaat untuk tetap setia terhadap iman kristiani mereka. Masa Pemerintahan Hindia Belanda (1800-1935) Sebagaimana dikemukakan di atas, pembubaran VOC, sangat berpengaruh terhadap perkembangan gereja di Indonesia, termasuk di Maluku. Kondisi demikian telah terasa pada dua dekade sebelum dan dua dekade setelah pembubaran VOC. Sebagai gambaran, sejak tahun 1793 sampai dengan 1815, tidak terdapat lagi seorang pendeta tetap di kota Ambon kecuali dalam beberapa bulan saja. Di Ternate dan Banda keadaan tidak berbeda (Th. Van den End, RC 1,: 158 dyb). Benar, di Jemaat-jemaat masih terdapat tenaga pekerja setempat, terutama guru-guru sekolah yang merangkap sebagai pemimpin ibadah Minggu. Tetapi kualitas pelayanan mereka cenderung menurun karena ketiadaan pembinaan dari pendeta-pendeta Belanda. Kondisi keterpurukan yang dialami bukan saja terdapat di Maluku tetapi juga oleh jemaat-jemaat warisan VOC di seluruh Indonesia. Walaupun demikian di bawah kekuasaan Inggris yang relatif singkat (1810-1815) telah diusahakan peningkatan pelayanan kepada jemaat di Kota Ambon dan sekitarnya, juga jemaat Saparua dan sekitarnya. Setelah mengambil alih kekuasaan dari Inggris pada tahun 1815, Raja Belanda Willem I, berkeinginan kuat untuk menyatukan jemaat-jemaat warisan VOC dalam satu wadah gerejawi. Tujuannya antara lain adalah demi peningkatan pelayanan dan sekaligus merupakan wujud tanggung jawab moral terhadap jemaat-jemaat warisan VOC yang sangat terpuruk pada saat itu. Untuk itu Raja membentuk wadah dimaksud dengan nama Indische Kerk atau Gereja Protestan di Indonesia (GPI). Demi peningkatan pelayanan dan pembinaan terhadap jemaat- jemaat di Maluku khususnya pemerintah Belanda mengadakan kerjasama dengan badan zending Nederlands Zendeling Genootschap (NZG: Perhimpunan Para Pekabar Injil Belanda). Tenaga-tenaga pertama yang dikirim antara lain Josep Kam yang ditempatkan di Maluku dengan basis pelayanan di Kota Ambon. Selain Maluku, kegiatan pelayanannya menjangkau pula daerah-daerah lain di Indonesia Timur, antara lain Timor Kupang dan Sulawesi Utara (Minahasa dan Kepulauan Sangir-Talaud). Menghadapi kondisi riel jemaat Kota Ambon dan jemaat-jemaat sekitar yang terpuruk Kam menetapkan suatu pola pendekatan tertentu guna mengatasinya. Pola yang dimaksud ialah memadukan pola pendekatan ala “Pietisme” dan pola pendekatan ala “Gereja Rakyat” (gereja Gereformeerd/Calvinis). Pola pertama menekankan pada kegiatan pembangunan di bidang kerohanian umat melalui kebaktian kebangunan rohani, pembentukan kelompok-kelompok doa, membaca Alkitab dan pengadaan kelompok doa untuk mendukung aktivitas pekabaran Injil. (I.H. Enklaar,1980: 47). Sedangkan pola kedua menekankan pada pembenahan di bidang organisasi gereja dan pendidikan (sekolah), pelayanan sakramen (Perjamuan Kudus dan Baptisan), penegakkan disiplin gereja dan penyebaran Alkitab kepada jemaat-jemaat. Selain itu, bagi Josep Kam (juga tenaga-tenaga NZG lainnya), tujuan kehadiran mereka ialah memfokuskan pelayanan kepada penduduk setempat. Alasannya, karena kelompok ini kurang mendapat perhatian dibandingkan dengan anggota jemaat berbahasa Belanda dan penduduk setempat yang berbahasa Belanda selama masa penguasa VOC. Tujuan ini tampak pada konsentrasi pelayanan mereka bukan jemaat-jemaat di kota melainkan di pelosok- pelosok (jauh dari “pusat”, Kota Ambon). Sebagai tenaga NZG, dalam kegiatan pekabaran Injil, bukan pertama-tama Injil ditanamkan di otak, melainkan di hati orang-orang yang dikabari Injil. Di masa GPI, Jemaat Amahusu cenderung memperoleh pelayanan yang relatif lebih baik dbandingkan dengan jemaat-jemaat sekitar. Faktor penyebabnya ialah karena letaknya yang berdekatan dengan kota Ambon sehingga sering mendapat kunjungan dari para pekerja gereja. Selain itu, letaknya yang strategis membuat jemaat ini dijadikan tempat singgah para pelayan dalam perkunjungan mereka ke jemaat-jemaat baik yang terletak di pesisir maupun di pegunungan jazirah Leitimur. Sama seperti halnya dengan jemaat-jemaat di pulau Ambon pada masa GPI, terutama di masa Joseph Kam, jemaat Amahusu cukup mendapat perhatian dalam pelayanan. Dalam setiap perkunjungan ke jemaat ini, ia melayankan sakramen (Baptisan dan Perjamuan Kudus), membenahi administrasi jemaat dan sekolah. Juga pada kesempatan itu dilakukan pemberkatan nikah gereja terhadap pasangan-pasangan yang sudah menikah adat dan menggalakkan ibadah- ibadah di dalam jemaat seperti kebangunan rohani, penelaahan Alkitab dan kelompok doa untuk menunjang kegiatan pekabaran Injil. Di samping itu, jemaat ini dipuji oleh Joseph Kam karena keramahan yang diperlihatkan terhadap dirinya dan rekan-rekan ketika berkunjung ke sana. (Ibid.: h. 69). Untuk lebih menggalakkan kegiatan-kegitan kejemaatan, atas bantuan Kam dibangun sebuah gedung gereja baru pada tahun 1822 (Ibid., h. 125). Perkembangan yang positif ini tercermin pada data daftar statistik di Pulau Ambon, Lease, Buru-Manipa-Buano tentang jemaat dan sekolah yang dikeluarkan pada tahun 1821. Khusus di dalam tabel anggota jemaat yang tidak mengikuti Perjamuan Kudus tercatat alias, “tidak ada”. Data ini mengindikasikan bahwa pelayanan kepada anggota jemaat relatif berjalan baik. Timbul kesan yang kuat bahwa di masa GPI, telah tertanam di kalangan anggota jemaat suatu bentuk kekristenan baru yang bercorak Pietisme/Revival. Salah satu cirinya adalah penekanan pada kesalehan hidup pribadi. Di kampung-kampung, pada waktu malam akan terdengar nyanyian khidmat dari keluarga, juga suara bapa-bapa (kepala keluarga) yang mengucapkan doa malam untuk keluarganya dan tetangga dekat. Kebiasaan ini tersebar luas di jemaat-jemaat terutama di Maluku Tengah dan terus dipertahankan hingga kini. Bukan saja di bidang pelayanan dan pembinaan jemaat tetapi juga di bidang pendidikan (sekolah) terjadi perkembangan yang sama. Sesuai tugas yang diemban oleh tenaga-tenaga zending yakni mengabarkan injil dan membawa peradaban, maka bidang pendidikan (sekolah) juga sangat diperhatikan. Di bawah kepemimpinan B.N.J. Roskott (seorang guru), pengganti Joseph Kam, bidang pendidikan sangat diperhatikan. Di Maluku Tengah, hampir semua negeri telah memiliki Sekolah Dasar (2 atau 3 tahun) pada saat itu termasuk Amahusu. Dalam perkunjungannya pada tahun 1845, ia melaporkan bahwa sekolah di sana dipimpin oleh guru L. J. Nanlohij. Menurutnya sekolah ini termasuk terbaik dan pimpinannya termasuk yang terajin di Ambon pada saat itu. Jumlah muridnya tercatat sebanyak 94 orang. Dalam semua hal nampak ketertiban, kebersihan dan pendidikan yang berkualitas. Nanlohij bukan saja bekerja di sekolah tetapi juga di jemaat dan memimpin ibadah pada hari Minggu. Di masa kepemimpinannya terdapat sebanyak 443 anggota jemaat yang terdiri dari anggota sidi 111 orang, yang belum sidi 158 orang, anak sekolah 96 orang dan anak kecil sebanyak 78 orang. (Chr.de jong : 606) Memasuki abad ke-20, terjadi perkembangan-perkembangan yang cukup signifikan baik di bidang kegerejaan maupun kemasyarakatan. Di bidang kegerejaan peranan anggota jemaat di dalam gereja mulai menonjol. Sesuai keputusan Pengurus GPI pada tahun 1928 anggota jemaat Ambon diberi hak untuk memilih dan dipilih sebagai anggota majelis jemaat. Sebelumnya, anggota majelis jemaat baru ditentukan oleh anggota lama dan harus disahkan oleh petinggi pemerintah Hindia Balanda. Selain itu, beberapa anggota jemaat dikirim sebagai penginjil ke Papua, dll. Sedangkan di bidang kemasyarakatan terjadi pergolakan politik dengan tujuan memperjuangkan kebebasan GPM dari GPI dan kebebasan bangsa Indonesia dari penjajahan kolonial Belanda. Di dalamnya khusus di bidang politik, kemudian ikut terlibat putra-putra terbaik dari negeri Amahusu, seperti F.B. Pupella dan F. Pupella. Mereka adalah tokoh-tokoh nasional yang bukan saja terkenal di Maluku tetapi juga di wilayah Indonesia bagian Timur, terutama dalam perjuangan bangsa Indonesia memertahankan kemerdekaannya.